2 PERBEDAAN PROFESI DALAM 1 BIDANG YANG SAMA.
Profesi.
Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang
lebih luas menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh
nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti
sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu
dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Guru.
Jika kita sedikit berfilsafat tentang maknanya, guru berasal dari akar kata
Sanskerta, yaitu gri yang berarti memuji, dan kemudian berubah menjadi kata
kerja gur yang berarti mengangkat, to raise, to lift up, atau to make an
effort. Jika dilihat sebagai kata benda, guru berarti master yaitu seseorang
yang mampu mengajarkan pengetahuan dalam konteks spiritual. Ternyata kata guru
tersusun dari dua suku kata yang berlawanan makna yaitu gu versus ru yang
bermakna kemuraman versus keceriaan/ kemahardikaan.
Nah,
apa yang membedakannya?
Apakah
benar-benar sulit untuk membedakan profesi guru dengan profesi tertentu seperti
manajer, dokter, hakim, atau lainnya? Mungkin betul juga kita memang sulit
mengidentifikasi ciri khas seseorang yang berprofesi sebagai guru. Polisi,
tentara, perawat, atau pramugari mungkin bisa cepat dikenali seragamnya. Guru
dilihat dari aspek apanya?
1.
Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi
Jabatan
guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu
keahlian tertentu (meng-ajar, mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari
pekerjaan ini se- seorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal
ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun dalam perjalanan selanjutnya,
mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel “The
Limit of Teaching Proffesion,” profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus
selain dokter, penasihat hukum.
2.
Profesi sebagai Keahlian khusus
Kekhususannya
adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan manusia atau
masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia
hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarga-nya harus hidup akan tetapi hakikat
profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi
utamanya, melainkan kese- diaannya untuk melayani sesama. Kedua, para guru
dituntut untuk memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai fungsi
dan perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi pengetahuan,
penguasaan
kemampuan ajar dan pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak
didik-guru-masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki. Ketiga, para guru
dituntut untuk memiliki kompetensi profesi. Yakni dalam hal skill atau
kemampuan sebagai pengajar dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam
menyerap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam dinamika kehidupan_nyata.
3.
Guru sebagai profesi yang luhur
Di
lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini,
perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya
budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam ke-adaan darurat
dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain
hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusia-an.
4.
Menjunjung tinggi kode etik guru
Mem-”profesi”-kan
guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial, yakni: pertama, guru harus
mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara bijaksana dan
bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru saat ini tengah menjadi
wacana di masyarakat dan RUU Guru yang memuat pasal-pasal kode etik guru tengah
diperdebatkan oleh berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan.
5.
Di fasilitasi oleh pemerintah sebagai wujud apresiasi
Untuk
mewujudkan guru sebagai profesi, pemerintah – khususnya pembuat kebijakan dan
otoritas pendidikan – memiliki tanggung jawab yang berat, yakni berkewajiban
memfasilitasi proses dan aktivitas pengembangan keahlian profesi guru melalui
kegiatan pelatihan (workhsop), penyebaran informasi, penyuluhan dan
pembimbingan akademik dan karier. Andaikata kelak UU Sisdiknas menyatakan 20%
pengeluaran APBN diperuntukkan bagi bidang pendidikan, maka pengalokasiannya
lebih untuk kegiatan pengembangan keahlian profesi guru ketimbang untuk
peningkatan tunjangan gaji.
6.
Tidak mudah untuk menjadi seorang profesioanl
Kalau
kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat lainnya, seperti
dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya
perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim diketahui bahwa untuk
menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses
yang panjang dan waktu yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang
pendidikan formal, praktek lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di
bidangnya masing-masing. Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan
Amerika, konon untuk mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga
pendidikan minimal dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jaminan
bahwa yang bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai:
•
Guru yang efektif
•
Guru Mempunyai teaching skill
•
Guru sebagai media (learning equipment)
•
Guru Sebagai technology
•
Guru sebagai good examples/practices
•
Guru memiliki knowledgeable
7.
Guru yang berkompeten
Dalam
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan diperjelas oleh Permendiknas
Nomor 16 Tahun 2007, guru sebagai sebuah profesi harus memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik; guru harus menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, empational, dan
intelektual. Selain itu, dituntut menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik dan teknik penilaian, mengembangkan kurikulum yang
terkait dengan bidang pengembangan yang diampunya, memanfaatkan teknologi
informasi, komunikasi ,dan media untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan
yang mendidik.
8.
Tenaga profesi di berbagai jenjang pendidikan
Sejalan
dengan Pasal 2 dinyatakan bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dan Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga
profesioanl sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat
pendidik (tunjangan operasional).
9.
Adanya sertifikasi pendidik
Selanjutnya
disebutkan pula bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan, dan Sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan
yang terakreditasi atau ditunjuk pemerintah. Dampak dari kepemilikan
sertifikasi pendidikan, maka guru akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) meliputi gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan
profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang
terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan
atas dasar prestasi dan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama. Selanjutnya Pemerintah memberikan tunjangan
profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah
memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan
dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dan pemberian
tunjangan profesional tidak membedakan antara guru yang
diangkat_pemerintah_maupun_masyarakat.
10.
Adanya UU yang mengatur tentang profesi guru
Selain
itu, UU tersebut akan dapat mengangkat marwah dan martabat guru secara hakiki,
karena selama ini andil dan kontribusi guru di dalam mencerdaskan anak negeri
ini sepertinya dipandang sebelah mata, dan memandang profesi guru sebagai
profesi biasa. UU guru dan dosen, seperti Pasal 8 menyatakan bahwa : Guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Sertifikasi pendidikan akan dapat diperoleh bilamana guru telah
memiliki kualifikasi akademis minimal S-1/D-IV sejak pendidikan anak usia dini
sampai pendidikan menengah. Kemudian guru juga harus memiliki kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, sebagaimana dipersyaratkan oleh
UU. Setelah uji kompetensi tersebut, barulah guru dan dosen memiliki
sertifikasi pendidik, dan barulah akan terangkat marwah dan kehidupan guru
secara hakiki, yakni hidup sejahtera dengan penghasilan yang layak sebagaimana
yang dicita-citakan oleh setiap guru Indonesia.
11.
Peran guru dalam pembelajaran
Guru
adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah (UU. No 14 tahun 2005:2)
Guru
sebagai key person in the classroom
Perannya
tidak dapat digantikan
12.
Pendidik professional
Merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi hasil belajar
Bertindak
objektif dan tidak diskriminasi atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status
social ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
Menjunjung
tinggi peraturan perundang – undangan, dan kode etik guru serta nilai – nilai
agama dan etika
Memelihara
dan menumpuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Saya ingin memakai kata “guru” bukan untuk menamai sebuah
profesi, sebab selain itu, saya yakin dia akan kalah arti oleh kata “dosen”.
Sederhananya, seorang dosen belum tentu bisa dikatakan guru, tetapi seorang
guru mungkin saja berprofesi sebagai dosen. Dalam hal ini saya tidak akan
mempersoalkan profesi karena keduanya pun tujuan awalnya sama yaitu mendidik,
tetapi ini soal sikap. Baik, mari kita perhatikan uraian berikut:- Dosen professional hanya menyampaikan materi kuliah. Sedang guru mengajarkannya
- Dosen professional memperbesar jarak antara si pintar dan si bodoh. Seorang guru berusaha menghilangkan jarak itu
- Dosen professional akan kenal baik dengan murid cemerlang tetapi tak pernah hafal nama-nama muridnya yang terbelakang. Pandangan seorang guru: anak pintar tak perlu pujian apalagi reward tambahan karena dengan sendirinya ia sudah mendapatkan semua itu, sebaliknya anak bodoh yang lebih membutuhkan perhatian khusus agar bisa sejajar dengan anak-anak pintar.
- Dosen professional tak akan peduli dengan muridnya yang terbelakang. Seorang guru akan selalu mencari metode untuk memajukan muridnya yang terbelakang.
- Dosen professional akan melahirkan beberapa bintang kelas. Seorang guru akan menjadikan semua anak didiknya bintang.
- Dosen professional akan sulit ditemui muridnya selain diruang kelas. Seorang guru akan menyediakan waktu untuk muridnya.
- Seorang guru bisa menjadi dosen. orangtua, dan sahabat sekaligus. Dosen professional tetaplah dosen.
- Seorang guru dicintai semua muridnya. Dosen professional hanya disukai oleh anak yang pintar saja.
- Ditangan dosen professional, murid bodoh bisa jadi akan tetap berpikiran kerdil dan lulus sebagai sarjana yang tidak jujur, pandai memakai topeng, dan dikemudian hari jika ia menjadi pejabat, ialah pejabat yang korup. Ditangan guru, murid yang dahulunya bodoh akan berpemikiran terbuka, kritis, bertanggungjawab, dan memiliki beberapa karakter baik yang ditularkan oleh gurunya.
- Dosen professional akan mencetak para intelektual yang kaku. Guru kebalikannya.
- Dosen professional akan bangga jika salahsatu saja muridnya ada yang lulus dengan predikat cumlaude. Seorang guru akan merasa gagal jika ada salahsatu saja muridnya yang lulus dengan nilai buruk.
- Setelah lulus, dosen professional tak akan lagi punya tempat di ingatan murid-muridnya. Ketika seorang murid telah sukses, orang pertama yang mendapat ucapan terimakasih adalah gurunya.
- Dosen professional dengan mahasiswanya memiliki keterikatan profesi. Guru dan muridnya mempunyai keterikatan emosional.
- Dosen: profesi, pekerjaan, matapencaharian. Guru: predikat, pengabdian, penghargaan.
Profesionalitas
guru
memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan bermutu. Dan
karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air.
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sebelum anda membaca kelanjutan artikel ini, saya ingin bertanya: Apakah anda pernah membaca secara keseluruhan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen? Jika Belum, silahkan baca / download dulu dengan klik gambar di bawah ini:
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sebelum anda membaca kelanjutan artikel ini, saya ingin bertanya: Apakah anda pernah membaca secara keseluruhan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen? Jika Belum, silahkan baca / download dulu dengan klik gambar di bawah ini:
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian dikaji kelemahan dan kelebihannya.
Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang dimaksud meliputi, Sistem
Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang digunakan, serta hal lainnya.
Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.
Isi Pokok UUGD
UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa bagian.
Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum,
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
(c) Prinsip Profesionalitas.
Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(h) Organisasi Profesi.
Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.
Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).
Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.
Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD) disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:
Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh.
Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru sehingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di
syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan kemampuannya memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religious.
Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas
sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki kompetensi
profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali
pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya
membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan
ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah
liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana
mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok .”
Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari alternatif pemecahannya.
Mengukur Keprofisonalan Guru
Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan public.
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyelesaikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengajar.
Penghargaan terhadap Guru Profesional
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.
Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi, menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan pendapatan.
Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi terbengkelai.
Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.
SARAN KEBIJAKAN
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama.
Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari alternatif pemecahannya.
Mengukur Keprofisonalan Guru
Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan public.
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyelesaikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengajar.
Penghargaan terhadap Guru Profesional
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.
Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi, menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan pendapatan.
Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi terbengkelai.
Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.
SARAN KEBIJAKAN
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung.
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
CONTOH JURNAL :
KAJIAN
PERBANDINGAN PENDIDIKAN GURU DAN DOSEN
INDONESIA
DAN AMERIKA SERIKAT
LATIFA ANNUM DALIMUNTHE
Dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangkaraya
ABSTRAK
keberadaannya. Dalam
pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar mutu
Penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini cukup banyak namun tidak
jelas pelayanan pendidikan dan
standart mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan -yayasan
tersebut terkesan
memaksakan diri untuk mendirikan lembaga
pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan
yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari
memadai, guru dan dosen yang tidak kompeten dan organisasi yang tidak dikelola
dengan baik.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengeAmerika Serikat. tahui perbandingan pendidikan guru dan dosen Indonesia dan
Metode yang digunakan
dalam peneltian ini dengan telaah pustaka maupun internet
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki standarisasi kualifikasi guru
minimal berpend
idikan
S1 dan dosen adalah
minimal berpendidikan S2. Jika dibandingkan di Amerika Serikat hampir sama
seperti untuk guru harus berpendidikan minimal S1 sedangkan untuk dosen
berpendidikan S3. Kemudian standar
kesejahteraan
di Indonesia hakpemerintah seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan
khusus dan sertifikat pendidik. Kalau guru dan –hak kesejahteraan guru dan
dosen terlihat adanya bentuk penghargaan
dosen pemula gaji
berkisar Rp. 12 – 18 juta per tahun. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, bagi guru
pemula, gaji antara $25.000 - $35.000 per tahun. Kalau dikurs dengan rupiah
sekitar Rp.25.000.000 per bulan. Tapi jangan
dianggap sangat besar, karena kebutuhan hidup di AS cukup tinggi, misal untuk
sewa apartemen perbulan sekitar $1.000 atau ekivalen dengan Rp10.000.000. Biaya
hidup untuk single
paling irit $500 per
bulan. Jika dilihat dari jumlah guru dan dosen, bahwa jumlah guru di Indonesia
sebenarnya melimpah tetapi masih saja kekurangan. Rasio guru dan murid di
Indonesia adalah 1:18, artinya satu guru
mengajar 18 murid. Perbandingan tadi mengungguli Amerika Serikat yang rasionya
1:20. Kondisi ini terjadi
karena kurang efektifnya pemerataan guru dan cenderung banyak numpuk di Pulau
Jawa.
Kata
kunci : Perbandingan,
guru, dosen, Indonesia, Amerika Serikat
PENDAHULUAN
Menurut
pengertian dasarnya kajian perbandingan mempunyai arti menganalisa dua hal atau
lebih untuk mencari kesamaan – kesamaan dan perbedaan – perbedaannya. Sehingga
dengan demikian akan dapat memberikan pengertian dan pemahaman berbagai macam
system pendidikan yang ada di berbagai negara dan kawasan dunia umumnya
khususnya pendidikan guru dan dosen di negara Indonesia dan Amerika Serikat
dengan berbagai latar belakang sejarahnya.
Dorongan
rasa ingin tahu, untuk mengetahui dan mempelajari lebih jauh tentang pendidikan
guru dan dosen di Indonesia dan Amerika Serikat diperlukan apa yang sekarang
dikenal dengan istilah kajian perbandingan. Kajian perbandingan pendidikan guru
dan dosen pada penelitian ini lebih difokuskan pada standarisasi, kompetensi,
sertifikasi, kesejahteraan, rasio, kebijakan pemerintah dan melakukan analisis
SWOT (Strengths, Weaknesses, Oppurnities
dan Threats)
Standardisasi Penyelenggaraan Pendidikan
Penyelenggara
pendidikan di Indonesia sampai saat ini cukup banyak namun tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga
pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart
mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut
terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak
lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan
yang jauh dari memadai, guru dan dosen yang tidak kompeten dan organisasi yang
tidak dikelola dengan baik.
Jika
dibandingkan di Amerika Serikat, penyelenggara pendidikan cukup banyak dan
bahkan terbesar di dunia. Seperti Leland
Stanford Junior University, yang lazim dikenal sebagai Universitas Stanford (atau Stanford
saja), adalah sebuah universitas swasta yang
terletak kira-kira 60 kilometer di tenggara San Francisco dan
kira-kira 30 km di timur laut San Jose di
wilayah Kabupaten Santa Clara yang
belum diresmikan sebagai kota. Stanford terletak dekat kota Palo Alto, California, Amerika Serikat tepat
di jantung Lembah Silikon baik secara geografis
maupun historis. Universitas Stanford terletak di kampus universitas kedua
terbesar di dunia, dan terdiri atas Sekolah Teknik, Hukum, Kedokteran, Pendidikan, Bisnis, Ilmu
bumi, dan Humaniora serta Sains. Universitas ini mempunyai sejumlah
program dan sebuah rumah sakit pendidikan selain
berbagai kegiatan menjangkau ke masyarakat dan inisiatif relawan. Standardisasi kualifikasi Akademik
Standardisasi
kualifikasi guru dan dosen di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 14
tahun 2005, bahwa standarisasi kulifikasi guru minimal berpendidikan S1 dan
dosen adalah minimal berpendidikan S2. Jika dibandingkan di Amerika Serikat
hampir sama seperti untuk guru harus berpendidikan minimal S1 sedangkan untuk
dosen berpendidikan S3
Kesejahteraan
Hak–hak
kesejahteraan guru dan dosen terlihat adanya bentuk penghargaan pemerintah
seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus dan sertifikat
pendidik. Kalau guru dan dosen pemula gaji berkisar Rp. 12 – 18 juta per tahun.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat
Bagi guru pemula, gaji antara $25.000 - $35.000 per tahun. Kalau dikurs
dengan rupiah sekitar Rp.25.000.000 per bulan. Tapi jangan dianggap sangat
besar, karena kebutuhan hidup di AS cukup tinggi, misal untuk sewa apartemen
perbulan sekitar $1.000 atau ekivalen dengan Rp10.000.000. Biaya hidup untuk
single paling irit
$500 per bulan
Sertifikasi
Ketika
pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus
di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, akan mendapatkan
penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi
yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh
Pemerintah atau
pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun,
untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat
pendidik yang
tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya.
Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi,
seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen
portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuktumpuk dokumen yang mesti
dikumpulkan oleh seorang guru. Dan
sudah pasti, hanya guru yang
memiliki “jam terbang” tinggi dengan masa kerja yang cukup lama yang bisa
menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai
mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas
Jika dibandingkan di Amerika Serikat,
Nampaknya, tidak ada satu sistem pendidikan tertentu yang harus dianut di AS.
Guru minimal berpendidikan S-1 di bidang mata pelajaran yang diajarkan, dan
menguasai metode pembelajaran. Guru harus memiliki lisensi (semacam sertifikat)
mengajar yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Pembaruan lisensi dimaksudkan
agar guru selalu mengikuti perkembangan dan menambah pengetahuannya. Caranya,
guru harus mengambil course di perguruan tinggi sebanyak 6 kredit unit.
Sertifikasi guru dilakukan oleh National
Board for Professional Teaching Standards. Guru harus tahu isi pelajaran
dan cara mengajarkannya
Jumlah Guru dan Dosen
Baru-baru ini ada pernyataan Kepala
Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) bahwa
jumlah guru di Indonesia sebenarnya melimpah tetapi masih saja kekurangan. Dia
menyebutkan, rasio guru dan murid di Indonesia adalah 1:18, artinya satu guru
mengajar 18 murid. Perbandingan tadi mengungguli Amerika Serikat yang rasionya
1:20. Kondisi ini terjadi karena kurang efektifnya pemerataan guru dan
cenderung banyak numpuk di Pulau Jawa.
Kurikulum
Kurikulum
adalah dokumen atau perencanaan dalam sistem sekolah yang menetapkan kerja guru
dan berfungsi menfokuskan serta mengaitkan pekerjaan guru. Namun kenyataannya,
kadangkala sering ada perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia menimbulkan
keresahan dikalangan guru. Seperti yang dilontarkan oleh Bedjo Sujanto dari
Universitas Negeri Jember, bahwa keresahan Guru menghadapi berbagai perubahan
kurikulum yang terlalu sering, merupakan sesuatu yang sangat wajar. Wajar,
karena Guru tidak bisa bersikap 'masa bodoh' terhadap perubahan itu. Kurikulum
merupakan bagian penting dari tugas seorang Guru. la menjadi arah sekaligus
tujuan dari semua proses pembelajaran. Kemana para siswa akan dibawa dan
diarahkan, semuanya ada di dalam kurikulum tersebut.
Oleh
karena itu terlalu seringnya perubahan kurikulum terjadi, membuat mereka
bertanyatanya, apakah si pengubah paham benar terhadap proses pembelajaran di
sekolah "Indonesia'? Apakah dengan kurikulum yang baru, diprediksi akan
memperbaiki kualitas pendidikan? Apakah sudah dipikirkan, ketika mengubah
kurikulum (semua maupun sebagian), ia harus mengubah 2,7 juta cara berpikir
guru? Dianggap sedemikian sederhanakah mengubah 2,7 juta orang itu? Sadarkah
bahwa buku-buku kurikulum yang terdahulu pun belum semua sekolah memilikinya?
Sadarkah bahwa 'sekedar' mendistribusikan buku-buku kurikulum itupun suatu
kesulitan yang tidak mudah dipecahkan dan butuh biaya yang besar ?
Kualitas
pendidikan kita 'rendah' adalah sjatu bukti bahwa kurikulum tidak dapat
berjalan sesuai dengan harapan. Kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984.
Bagaimana hasilnya? Tidak ada studi yang
signifikan untuk itu. Kurikulum 1984 diganti lagi dengan kurikulum 1994,
bagaimana hasilnya? Kurikulum suplemen bagi kurikulum 1994, bagaimana pula
hasilnya? Dari kurikulum 1994 diganti lagi dengan kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) 2004. Sudah adakah studi yang komprehensif tentang ini? Sudahkah hasil
studi ini diketahui oleh para guru, di mana titik lemah dan sisi kekuatan dari
kurikulumkurikulum tersebut ?
Jika dibandingkan di
Amerika Serikat bahwa kurikulum yang diterapkan di AS divalidasi kebenarannya.
Caranya antara lain dengan menggunakan (matrik validasi( dari segi standar
nasional, ebta, kebijakan, pendapat guru, alumni, textbook, dan lain-lain
terhadap pengetahuan, ketrampilan, dan sikap anak didik. Untuk mengukur standar
kurva normal kelulusan ada dua hal yaitu keinginan agar semua siswa belajar,
dan keinginan semua siswa lulus. Keinginan agar siswa mendapat nilai di atas
rata-rata adalah sesuatu yang tak mungkin dalam kurva normal. Guru dengan gaji
awal sekitar Rp 25 juta per bulan memili 6 peran, yaitu: (a) Mengetahui
kurikulum yang tertulis, (b) Memantau kurikulum yang diajarkan, (c) Memberi
masukan terhadap kurikulum yang tertulis dan diujikan, (d) Menganalisis data
ujian, (e) Menentukan rencana pengembangan pencapaian akhir siswa dengan
melibatkan semua guru, dan (f) Memberitahu orang tua siswa cara membantu
anaknya agar berhasil
Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan
anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi
keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan
tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang
Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) (ayat 1).
Jika
dibandingkan di Amerika Serikat, anggaran pendidikan cukup besar dan di
serahkan ke negara bagian yang diberi nama board
of education. Badan ini bertugas dan berfungsi membuat kebijakan kebijakan
serta menentukan anggaran pendidikan untuk masingmasing wilayah (Negara Bagian)
khususnya berkenaan dengan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Selanjutnya, untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang
lebih teknis (yaitu; tentang kurikulum sekolah, penentuan persyaratan
sertifikasi, guruguru, dan pembiayaan sekolah) dibentuk sebuah bagian
pendidikan yang disebut sebagai comissioner,
sering juga disebut sebagai superintendent.
Bagian ini dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh board of education atau
oleh
Gubernur
ANALISIS SWOT
Analisis
SWOT adalah metode perencanaan strategis yang
digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat
faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths,
weaknesses, opportunities, dan threats).
Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dan mengidentifikasi
faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai
tujuan tersebut
Kekuatan (Strengths)
Kekuatan (Strengths) adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan
dari organisasi atau program pada saat ini. Strenght
ini bersifat internal dari organisasi atau sebuah program.
Adapun kekuatan yang dimiliki saat
ini antara lain
:
1. Lahirnya
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
2. Anggaran
pendidikan mencapai 20% dari Pemerintah
Kelemahan (Weaknesses)
Kelemahan (Weaknesses) adalah kegiatankegiatan
organisasi yang tidak berjalan dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan
oleh organisasi tetapi tidak dimiliki oleh organisasi. Kelemahan itu terkadang
lebih mudah dilihat daripada sebuah kekuatan, namun ada beberapa hal yang
menjadikan kelemahan itu tidak diberikan solusi yang tepat dikarenakan tidak
dimaksimalkan kekuatan yang sudah ada.
Adapun kelemahan yang terlihat antara
lain :
1. Banyaknya
lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan
2. Banyaknya
guru belum memenuhi kualifikasi pendidikan S1 dan dosen untuk kualifikasi
pendidikan S2.
3. Hak–hak
kesejahteraan guru dan dosen terlihat belum merata
4. Penempatan
guru dan dosen belum merata
5. Banyaknya
guru dan dosen yang belum sertifikasi
Peluang (Oppurtunities)
Peluang
(Oppurtinities) adalah faktor positif
yang muncul dari lingkungan dan memberikan kesempatan bagi organisasi atau
program kita untuk memanfaatkannya. Opportunity
tidak hanya berupa kebijakan atau peluang dalam hal mendapatkan modal berupa
uang, akan tetapi bisa juga berupa respon masyarakat atau isu yang sedang
diangkat. Adapun peluang yang terlihat antara lain :
1. Adanya
program beasiswa kepada calon guru dan dosen
2. Adanya
program tunjangan untuk guru dan dosen
Tantangan (Threats)
Tantangan
(Threats) adalah faktor negatif dari
lingkungan yang memberikan hambatan bagi berkembangnya atau berjalannya sebuah
organisasi dan program. Ancaman ini adalah hal yang terkadang selalu terlewat
dikarenakan banyak yang ingin mencoba untuk kontroversi atau out of stream (melawan arus) namun pada
kenyataannya organisasi tersebut lebih banyak layu sebelum berkembang. Adapun
tantangan yang terlihat antara lain :
1. Lembaga
pendidikan di Amerika Serikat sangat maju.
2. Calon
dosen di Amerika Serikat minimal S3
3. Kesejahteraan
guru dan dosen di Amerika Serikat cukup baik
KESIMPULAN
Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi
tingkat penghasilan.
SARAN
Perlu penelitian lanjutan dengan
kajian perbandingan pendidikan
Indonesia dengan negara-
negara lainnya seperti di Asia, dan
Australia, dan lainnya
SUMBER :
Contoh Kasus Guru :
http://music.okezone.com/read/2012/05/22/447/633137/5-guru-pembocor-soal-un-smp-dibekuk
http://music.okezone.com/read/2012/05/22/447/633137/5-guru-pembocor-soal-un-smp-dibekuk
Contoh Kasus Dosen :
http://bayusetio.info/berita-114-formal--etika-dosen-serta-pelanggaran-dan-sanksinya.html